Selamat datang di website resmi pengadilan agama bengkulu kelas 1A   Click to listen highlighted text! Selamat datang di website resmi pengadilan agama bengkulu kelas 1A Powered By GSpeech

Sejarah Pengadilan

Sejarah Pengadilan

Sejarah Ketua

            Dengan mengutip beberapa pendapat Zaini Ahmad Noeh mengemukakan teori pembentukan lembaga peradilan Islam, Qadla dapat dilakukan dalam tiga bentuk:

       Bentuk pertama: Peradilan harus dilakukan atas dasar pelimpahan wewenang atau ”tauliyah” dari Imam. Imam adalah Kepala Negara yang disebut pula dengan ”waliyul-amri”. Dalam pada itu sekiranya seorang penguasa, yang di dalam istilah Fiqh disebut ”dzu syaukah”, dan sekalipun sultan yang kapir mengangkat seorang hakim yang kurang memenuhi persyaratan, keputusan hakim yang demikian itu harus dianggap berlaku sah, demi untuk tidak mengabaikan kemaslahatan umum.

       Bentuk kedua: Bila di suatu tempat tidak ada Penguasa atau Imam, pelaksanaan peradilan dilakukan atas dasar penyerahan wewenang, yakni Tuliyah dari ”ahlul Halli wal-’aqdi”, yaitu para tetua dan sesepuh masyarakat seperti ninik-mamak di Sumatera Barat, secara kesepakatan. Arti harfiyah dari istilah ini, adalah ”orang-orang yang berwenang untuk melepas dan mengikat”. Dalam buku Adatrecht II dari Prof. Van Vollenhoven, istilah itu diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan kata-kata ”de tot losmaken en binden bevoegden” dan ditambahkan artinya sebagai ”majelis pemilih kepala negara yang baru (kiescollege voor een nieuw staatshoofd)”.

         Bentuk ketiga: Dalam keadaan tertentu, terutama bila di suatu tempat tidak ada hakim, maka dua orang yang saling sengketa dapat ”bertahkim” yakni mengangkat seseorang untuk bertindak sebagai hakim, dengan persyaratan a.l. kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat akan menaati keputusannya, begitu pula tidak menyangkutkan keputusannya dengan hukuman badaniyah, yakni pidana dan lain-lain sebagainya. (Daniel S. Lev, 1986, hal 1 dan 2)

      Peradilan agama di Indonesia adalah salah satu institusi Islam di Indonesia yang sangat tua, ia merupakan salah satu mata rantai yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah sampai sekarang Dalam perjalanannya yang panjang, peradilan agama tetap eksis sebagai peradilan bagi masyarakat Islam Walaupun mengalami pasang surut peradilan agama tetap berkembang sesuai situasi dan kondisi pada masanya Pembangunan dan pembinaan peradilan agama di Indonesia tidak mungkin lepas dari kekuasaan negara karena memberlakukan peradilan apapun tanpa landasan yuridis yang diberiikan negara bukannya mendatangkan ketertiban tetapi akan menimbulkan kekacauan Dasar negara dan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada cukup akomodatif bagi kemungkinan berkembanganya Peradilan Agama Khususnya di negara Indonesia, masalah peradilan agama telah diatur pada Pasal 224 UUD 1945 yang menyatakan bahwa 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badankehakiman menurut Undang-undang 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang.

           Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (LN. N0.99 Tahun 1957) tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah luar Jawa dan Penetapan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1957 tanggal 13 November 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sumatera. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu pada waktu pembentukan adalah Kotamadya Bengkulu, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Arga Makmur. Keadaan wilayah hukum Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu sedemikian berlangsung sampai terbentuknya Pengadilan Agama pada wilayah-wilayah tersebut.

Download Surat Keputusan PP No.45 Tahun 1957